Split Fiction Review: Eksperimen Naratif Ambisius yang (Hampir) Sempurna

Split Fiction: Ketika Dua Realita Bertubrukan dalam Sebuah Masterpiece yang Tak Sempurna

Apa jadinya jika Inception bertemu Black Mirror dalam format game RPG? Split Fiction, karya kontroversial dari studio baru Amberforge, berani menjawab tantangan itu dengan mekanik “dual reality” yang memusingkan sekaligus memukau. Tapi seberapa jauh ambisi naratif ini bisa bertahan sebelum retak?

1. Dua Dunia, Satu Tragedi

Split Fiction bukan sekadar game dengan ending ganda. Di sini, Anda benar-benar memainkan dua versi karakter utama secara paralel: satu sebagai detektif dalam dunia cyberpunk dystopian, satunya lagi sebagai ibu rumah tangga dalam drama keluarga pedesaan yang penuh ketegangan. Kedua narasi ini berjalan beriringan layar terbelah, dengan pilihan di satu sisi yang secara tak terduga memengaruhi alur cerita di sisi lain.

“Kami ingin pemain merasakan kegamangan eksistensial yang sama dengan protagonisnya,” ujar direktur kreatif game ini dalam wawancara eksklusif. Dan mereka berhasil – mungkin terlalu berhasil. Di jam-jam pertama, sensasi ini terasa revolusioner. Tapi bersiaplah untuk beberapa plot hole menganga ketika dua timeline mulai bersinggungan di akhir chapter.

2. Gameplay yang (Terlalu) Pintar?

Mekanik utama game ini adalah sistem “Cross-Reality Decision” dimana item yang dikumpulkan di dunia A bisa menjadi senjata di dunia B. Saat berhasil, ini terasa jenius – seperti saat kunci ingatan karakter di storyline keluarga tiba-tiba menjadi kode decrypt di misi cyberpunk. Tapi terlalu sering sistem ini jatuh ke dalam jebakan puzzle yang terlalu abstrak.

Boss fight melawan “The Paradox” di chapter 5 adalah contoh sempurna: perlu koordinasi timing antara dua layar yang nyaris mustahil dilakukan tanpa guide. Padahal, game ini dengan bangga menyatakan “no hand-holding”. Hasilnya? Beberapa bagian terasa seperti uji kesabaran daripada tantangan yang memuaskan.

3. Keindahan yang Terfragmentasi

Dari segi teknis, Split Fiction adalah mahakarya yang tidak merata. Desain dunia cyberpunk-nya memukau dengan neon lights yang menyala-nyala di tengah hujan asam, sementara sisi pedesaannya dihadirkan dengan tekstur foliage yang kadang tampak seperti aset placeholder.

Namun ke mana pun mata memandang, ada detail simbolis yang cerdas: palet warna yang bertolak belakang, motif geometris yang berulang di kedua dunia, hingga desain UI yang secara gradual “terkontaminasi” silang timeline. Soundtrack hybrid synthwave-country karya Lena Vox patut diacungi jempol – mungkin salah satu OST terbaik tahun ini.

4. Sebuah Kegagalan yang Brilliant

Split Fiction ibarat lukisan abstrak mahal di galeri seni kontemporer – ada yang akan memujinya sebagai karya visioner, sementara lainnya geleng kepala melihatnya sebagai pretensi kosong. Ambisi naratifnya melampaui eksekusi, tapi justru di situlah pesonanya.

Untuk hardcore gamer yang haus inovasi, ini adalah pengalaman wajib. Tapi bagi yang mencari cerita rapi dengan resolusi memuaskan, bersiaplah untuk frustasi. Seperti judulnya sendiri, Split Fiction akan membelah opini pemain menjadi dua kubu yang sama-sama bersemangat.

Skor: 8.5/10

  • Mekanik dual reality yang revolusioner
  • Desain simbolisme visual yang cerdas
  • OST multidimensi yang memukau
  • Plot yang semakin berantakan di akhir
  • Kesulitan tidak konsisten
  • Aset visual yang tidak merata

Alternatif Rekomendasi:

  • Untuk yang suka naratif kompleks: 13 Sentinels: Aegis Rim
  • Untuk gameplay dual-world yang lebih smooth: Titanfall 2 (mission: Effect and Cause)
  • Untuk eksperimen psikologis ekstrem: Spec Ops: The Line

Split Fiction mungkin bukan game terbaik tahun ini, tapi jelas yang paling berani. Seperti percobaan ilmiah gila yang setengah gagal, tapi justru kegagalan itulah yang membuatnya begitu menarik untuk dikulik – dan diperdebatkan sampai subuh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

APINTOTO: Situs Slot Mahjong Ways Dua | Link Gacor Dana Terbaru Hari Ini 2025